SEMARANG- Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah pada bulan September 2015, mencapai 4,506 juta orang (13,32 %), berkurang sebesar 71,26 ribu orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2015 yang sebesar 4,577 juta orang (13,58 %).
Kepala bidang statistik sosial Badan Pusat Statistik (BPS), Jateng Erisman mengungkapkan, persetase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2015 sebesar 11,85 %, turun menjadi 11,50 % pada September 2015.
Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan juga turun dari 15,05 % pada Maret 2015 menjadi 14,86 % pada September 2015.
“Jika dibandingkan dengan September tahun sebelumnya jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebanyak 56,05 ribu orang,” katanya.
Ditambahkan, berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret – September 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 47,62 ribu orang, dari 1.837,19 ribu orang menjadi 1.789,57 ribu orang. Adapun di daerah pedesaan juga turun sebanyak 23,64 ribu orang dari 2.739,85 ribu orang pada Maret 2015 menjadi 2.716,21 ribu orang pada September 2015.
“Secara umum, periode 2010 – 2015 tingkat kemiskinan di Jawa Tengah mengalami penurunan kecuali pada September 2011 dan Maret 2014,” imbuhnya.
Menurutnya, pada periode tahun 2010 – 2015 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dari 5,369 juta orang pada tahun 2010 menjadi 4,506 juta orang pada September 2015.
“Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 16,56 % pada tahun 2010 menjadi 13,32 % pada September 2015,” ungkapnya.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada September 2015 tercatat sebesar 73,23 %, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Maret 2015 yaitu sebesar 72,80 %.
“Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, diantaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, tempe, daging ayam ras, gula pasir, tahu, mie instan, dan kopi,” jelasnya.
Dia menyebutkan, pada periode Maret – September 2015, baik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) maupun Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung mengalami penurunan.
“Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Kebijakan kemiskinan, selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin juga harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan,” tandasnya.(aln)