SEMARANG- Pengembang perumahan yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah mengaku kesulitan memenuhi jumlah unit rumah yang ditargetkan oleh pemerintah, khususnya untuk rumah subisidi.
Wakil Ketua REI Jateng Bidang Tata Ruang, Joko Santoso mengatakan, sejauh ini per tahun pihaknya rata-rata mampu membangun rumah hingga 8 ribu unit. Padahal pembangunan yang diharapkan bisa mencapai 13 ribu unit.
“Antara target dan realisasi sejauh ini memang belum ketemu. Kemampuan kita membangun sejauh ini masih sekitar 8 ribu unit per tahunnya,” kata Joko.
Ditambahkan, untuk pembangunan rumah bersubsidi, untuk pengembang sendiri cukup banyak, meski mengalami penurunan. Yaitu sekitar 60 persen dari total 200 pengembang yang tergabung dalam REI Jateng.
“Kalau dulu pengembang rumah FLPP ini ada sekitar 70 persenan dari pengembang yang ada, tapi sekarang berkurang. Namun begitu, proyek FLPP di Jawa Tengah masih tetap berjalan,” imbuhnya.
Menurutnya, berkurangnya pengembang dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ini tak lepas dari kesulitan mereka dalam mendapatkan lahan dengan harga yang sesuai dengan patokan harga rumah FLPP per unit.
“Saat ini harga tanah terus naik. Meleset dikit saja perhitungan, maka pengembang bisa rugi. Belum kalau tiba-tiba harga material naik, padahal harga rumah tidak bisa dinaikkan. Beda halnya dengan rumah komersil, harga bisa dinaik turunkan, karena tidak ada patokan,” ungkapnya.
Kepala Dewan Perwakilan Daerah (DPD) REI Jawa Tengah Bidang Promosi Humas & Publikasi, Dibya K Hidayat menjelaskan, pihaknya mengusulkan peninjauan ulang terkait patokan harga rumah FLPP di Jawa Tengah. DPD REI Jateng mengusulkan koreksi harga rumah subsidi dari Rp 116 juta menjadi Rp200juta per unitnya.
“Tapi usulan ini juga sebetulnya dilema bagi kami. Di satu sisi, untuk membangun rumah dengan harga tanah yang sudah tinggi, berarti harga jual harus naik. Tapi di sisi lain, bila harga naik, maka banyak masyarakat yang tidak dapat mengakses rumah murah tersebut,” jelasnya.
Kemungkinan lain yaitu menurunkan standar pembangunan, dari yang semula tipe 36 menjadi tipe 24 atau 27. Pasalnya, rumah subsidi ini tujuan awalnya adalah sebagai rumah inti. Setelah terbeli baru bisa dikembangkan pelan-pelan.
“Pun halnya dengan penggunaan material dalam konstruksi bangunan. Kami menilai saat ini masyarakat mengharapkan rumah dengan genteng beton, bata dan keramik. Padahal, konsep rumah bersubsidi awalnya tidak mensyaratkan material tersebut,” terangnya.
Sementara, awalnya rumah subsidi sebatas rumah sehat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dua hal ini yang akan diusulkan DPD REI Jateng yaknia menaikkan harga atau mengembalikan ke standar awal.(aln)