SEMARANG- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Jawa Tengah harus mampu menangkap peluang relokasi industri, dan dimanfaatkan secara baik. Pasalnya, kecenderungan relokasi industri masih terus berlangsung, khususnya industri bidang manufaktur.
Direktur Indef, Dr. Enny Sri Hartati mengatakan, banyak industri di kota besar, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang sudah tidak memungkinkan lagi melakukan pengembangan usaha di daerah itu. Mereka terkendala lahan, persoalan upah minimum provinsi (UMP), dan sebagainya.
“Sebenarnya, Jateng memiliki lebih banyak peluang dilihat dari ketersediaan lahan dan UMP,” katanya, usai menjadi pembicara pada diskusi eksklusif bertema “Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah 2017”, yang diprakarsai Indef dan Perkumpulan Akuntan Muda (PAM) Jateng.
Menurutnya, tak harus di sektor manufaktur, tapi sektir pariwisata pun bisa dimanfaatkan. Apalagi, seluruh kabupaten/kota di Jateng memiliki keunikan destinasi wisata yang potensial, seperti Masjid Menara di Kudus yang sudah dibuktikannya sendiri jumlah pengunjungnya sangat banyak.
“Semestinya, potensi wisata di kabupaten/kota di Jateng bisa diintegrasikan dalam satu paket wisata dengan kerja sama pemerintah, dunia usaha, dan asosiasi sebagaimana dilakukan Malaysia,” ungkapnya.
Mantan Wakil Gubernur Jateng, Rustriningsih mengakui, masih perlunya pengembangan strategi pertumbuhan daerah yang digarap serius berbasis pada konektivitas antarwilayah di Jateng. Pemerintah provinsi harus hadir di tengah upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota.
“Masih banyak yang harus dilakukan. Misalnya, soal perbaikan, pembangunan infrastruktur jalan,” ujarnya.
Rustriningsih menyebutkan, anggaran yang digelontorkan pada 2016-2017 dari APBD murni untuk infrastruktur setidaknya mencapai Rp2,4 triliun yang jelas tidak kecil, tetapi tidak diimbangi keberlangsungan sarana transportasi massal.
“Subsidi sarana transportasi massal sebenarnya bisa mengurangi beban pemeliharaan jalan. Harus dikendalikan serius, jangan ‘jor-joran’ tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi jangka panjang,” pungkasnya.(aln)