GREEN CHILLER- Direktur Utama Phapros, Barokah Sri Utami (Emmy), Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, serta Direktur Utama PT RNI (Persero), Didik Prasetyo, meresmikan penggunaan Green Chiller di Pabrik Phapros Simongan Semarang. FOTO : ANING KARINDRA
SEMARANG- PT Phapros, Tbk yang merupakan anak usaha dari PT Rajawali Nusantara Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam melakukan efisiensi energi. Komitmen Phapros untuk melakukan efisiensi energi salah satunya diimplementasikan dalam penggunaan green chiller sebagai sistem pendingin berbasis hidrokarbon yang ramah lingkungan.
Direktur Utama Phapros, Barokah Sri Utami (Emmy) mengatakan, Phapros merupakan industri pertama yang mengimplementasikan teknologi green chiller. Adapun green chiller memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah menurunkan biaya operasional karena green chiller menggunakan teknologi yang lebih efisien.
“Instalasi chiller hidrokarbon ini juga dapat menghemat tagihan listrik lebih dari 20% atau hampir Rp 500 juta dari sistem pendingin yang saat ini digunakan. Investasi akan semakin terprediksi sesuai dengan kenaikan harga listrik dan tentu saja hal ini bisa meningkatkan citra perusahaan melalui implementasi teknologi terbarukan dan ramah lingkungan, serta iklim,” ujarnya di sela – sela peresmian teknologi green chiller di pabrik Phapros di kawasan Simongan, Semarang
.
Ditambahkan, dalam implementasi green chiller lokal berbasis hidrokarbon ini, Phapros turut serta menggandeng Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.
Direktur Utama PT RNI (Persero), Didik Prasetyo juga turut mengapresiasi langkah Phapros untuk mengimplementasikan green chiller yang juga merupakan bentuk hilirisasi riset.
“Kerjasama ini adalah representasi dari konsep ABCG, dimana Akademisi diwakili oleh UNDIP, Politeknik Bandung dan Politeknik Bali, Bisnis diwakili oleh Pertamina dan Phapros, Community diwakili oleh ASHRAE (The American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers) dan Government diwakili oleh Kementerian ESDM dibantu oleh GIZ,” jelas Didik.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan, hal yang menarik dalam mengembangkan refrigeran hidrokarbon adalah dari sisi isu lingkungan.
”Ada tiga hal yang membuat kita tertarik untuk mengembangkan refrigeran hidrokarbon. Yang pertama ketersediaan bahan baku yang kita punya. Kedua dari sisi lingkungan, melihat bahwa dulu kita menggunakan Freon yang tidak ramah lingkungan dan kemudian kita ganti dengan yang lebih natural yaitu hidrokarbon. Ketiga, bahwa industri dalam negeri juga sudah bisa memproduksinya. Artinya kalau ini dikembangkan maka akan menciptakan lapangan kerja baru dan pada saatnya akan meningkatkan perekonomian nasional,” paparnya.
Perlu diketahui, teknologi chiller hidrokarbon ini bisa menekan penggunaan energi karena memiliki konduktivitas panas yang 50% lebih efisien dibandingkan dengan refrigeran fluorocarbon, serta beroperasi dengan tekanan kerja yang 20% lebih rendah dibandingkan dengan refrigeran fluorocarbon. Sehingga dapat mengurangi konsumsi energi antara 17% – 30% dibandingkan dengan penggunaan refrigeran fluorocarbon.
Sebagai perbandingan, Daya input chiller lama adalah 151 kW dengan penggunaan listrik sebesar 545.387 kW/tahun dan biaya listrik per tahun mencapai lebih dari Rp 600 juta/tahun. Sementara dengan green chiller untuk menghasilkan efek pendinginan yang sama, hanya dibutuhkan 42 kW dengan penggunaan listrik 151.078 kWh/tahun dan biaya listrik sebesar Rp 160 juta/tahun.
Chiller hidrokarbon pertama mulai dipasang di pabrik Phapros pada akhir tahun 2017, menyusul kemudian chiller kedua di bulan Januari 2018. Chiller tersebut digunakan untuk mendinginkan berbagai ruangan untuk produksi obat, penyimpanan dan pembiakan bakteri di gedung produksi PT. Phapros Tbk di Semarang, Jawa Tengah.
Chiller tersebut dipasang untuk mengganti 2 unit lama yang menggunakan refrigeran tetrafluoroethane (R134a) yang memiliki potensi pemanasan global cukup tinggi.(aln)