SEMARANG – Para pejuang pelaku Pertempuran 5 Hari Semarang, di bulan Oktober ini selalu terngiang betapa pedihnya penderitaan menghadapi penjajahan Jepang. Meski dijajah lebih-kurang 3,5 tahun, namun rasanya berabad-abad karena hidup selalu dalam tekanan yang tak manusiawi.
“Siapa pun yang membangkan dan berani melawan jepang, saat itu pasti tak akan pernah lagi bisa berkumpul keluarga”, tandas Sugiarno (88), mantan pejuang 1945, warga Semarang Barat.
Ada kisah yang menyayat sewaktu pecah Pertempuran 5 Hari Semarang pada hari Minggu, 14 Oktober 1945. Waktu itu pasukan Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh menuju kampungnya di Poncol dan mencari pemuda untuk ditangkap. Saat itu usia Sugiarno baru 15 tahun.
Jepang marah karena banyak pemuda yang melawan pasca kekalahan Jepang atas Sekutu. Para pemuda ingin Jepang menyerahkan senjata mereka untuk bekal mempertahankan kemerdekaan. Karena hanya senjata yang rusak diberikan, maka pemuda Semarang marah dan membabi buta melakukan pencegatan terhadap Jepang yang ditemui di mana saja. Mereka (pemuda) ada yang menelanjangi bahkan menyiksa Jepang untuk menumpahkan kekesalannya. Karena itu jepang marah dan turun dari Kidobutai.
Saat itu, Soegiarno nyaris jadi korban pembunuhan Jepang. Tentara Kidobutai yang menggedor pintu rumahnya, menemukan Soegiarno berada di kolong tempat tidur dan menyeretnya keluar. Samurai tentara Jepang pun sudah menempel di lehernya, namun ibunya berusaha menghalangi kekalapan tentara Jepang. Ibunya kemudian menunjukkan sehelai foto adik Soegiarno bernama Soegiariam yang kala itu berumur 6 tahun bersama seorang tentara Jepang berpangkat Mayor di Surabaya. Soegiariam memag diangkat sebagai anak oleh seorang perwira Jepang di Surabaya sejak berumur 5 tahun.
Setelah tentara tersebut membaca huruf kanji yang ada di balik foto tersebut, akhirnya membatalkan niatnya untuk memenggal kepala Soegiarno. Selamatlah hidup Soegiarno dari kekejaman Jepang.
Saat itu, Soegiarno sedih menyaksikan kekejaman Jepang terhadap para pemuda. banyak pemuda yang dibunuh dengan cara disembelih dan jasadnya dibuang di sungai-sungai yang ada di Kota Semarang. Jepang sengaja memerahkan aliran sungai dengan darah pemuda Semarang sebagai bentuk teror.
Saat itu Soegiarno hanya bisa menjaga ibunya dan berdiam di rumah. Diakuinya, teman-teman sebayanya kala itu sudah malang melintang ikut berjuang melawan Jepang di Semarang. baru setelah Jepang dipulangkan ke negaranya setelah Sekutu datang dan adiknya Soegiariam kembali ke pangkuan ibunya, Soegiarno baru bergabung dengan Brigade 17 Tentara Pelajar berjuang melawan Belanda di Agresi II hingga Salatiga dan Yogyakarta.
Melihat kondisi sekarang ini, Soegiarno prihatin karena nilai-nilai kejuangan atau patriotisme tak lagi ada di hati para generasi muda.
“Saya melihat para generasi muda sekarang sibuk dengan kepentingan dan kesenangannya sendiri-sendiri. Mereka tak peduli akan nasib bangsanya yang semakin ke depan semakin terancam rasa persatuan dan kesatuan. Satu sama lain saling menjelek-jelekkan dan tidak bisa akur. Semestinya ini segera dibenahi, mereka harus ditata kembali dengan pendidikan karakter dan unggah-ungguh”, kata Soegiarno saat diundang Koramil 13 Semarang Selatan untuk menyemangati anggotanya agar terwarisi semangat juang pendahulu.
Pemuda menurutnya adalah tumpuan bangsa, karenanya dulu jepang menghabisinya agar bangsa ini lemah. Sekarang pemuda kita tidak dihabisi nyawanya, melainkan ditumpulkan pikirannya sehingga tidak peduli pada bangsanya.
“Andaikata Indonesia ini dihancurkan, saya tidak yakin mereka banyak yang rela memberikan darahnya untuk membela Indonesia. Karena itu bapak-bapak tentara ini juga punya tanggungjawab membina mereka”, harap Soegiarno kepada Danramil 13 Mayor Inf Rahmatullah SE MM.
Soegiarno yang merupakan adik kandung alm Soegiarin, penyebar berita dan teks Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 melalui kantor berita Domei ini juga berharap kepada Walikota Semarang Hendrar Prihadi agar mempelopori penananam kembali semangat juang 45 kepada para generasi muda Semarang.
Danramil 13 Semarang Selatan dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI memberikan bingkisan kepada para pejuang dan pelaku perang kemerdekaan, diantaranya Soegiarno. Selain itu juga melakukan perawatan terhadap makam Markonis atau penyiar berita morse Proklamasi Kemerdekaan Soegiarin di TPU bergota Semarang.(aln)