– TRACKING MANGROVE- Tracking mangrove kini menjadi salah satu spot unggulan ‘Maerokoco’ yang mampu menyedot kunjungan wisata. Foto : ANING KARINDRA
Sempat mengalami keterpurukan, Maerokoco, sebagai salah satu ikon wisata di Jawa Tengah kini perlahan bangkit. Berbagai inovasi dilakukan, demi mendongkrak tingkat kunjungan wisata.
MENGENAL Maerokoco di era tahun 1990-an menjadi masa kejayaannya. Sejak diresmikan oleh Presiden RI, Soeharto pada tahun 1993, ‘Taman Mini Jawa Tengah’ yang berada di pusat Kota Semarang mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat.
Dikemas sebagai wisata budaya, Maerokoco memberikan banyak edukasi pada masyarakat melalui 35 anjungan kabupaten/kota yang ada. Kala itu, tingkat kunjungan masyarakat dari berbagai segmen, khususnya pelajar dan keluarga sangat tinggi.
“Dulu sekitar tahun 1993 masih belum banyak objek wisata. Jadi, wisata budaya seperti Maerokoco ini menjadi destinasi favorit dari tiap kunjungan wisata ke Kota Semarang,” kata Titah Listyorini, Direktur Utama PT Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa Tengah selaku pengelola Maerokoco, saat berbincang dengan ketaketik.com di Maerokoco Semarang.
Dikisahkan, periode tahun 1993 – tahun 2000, animo masyarakat akan konsumsi wisata edukasi budaya masih sangat tinggi. Pengunjung bahkan tak hanya datang dari wilayah Jawa Tengah saja, melainkan dari luar provinsi.
“Keadaan mendadak berubah di tahun 2000-an, seiring kerap terjadinya rob yang melanda kawasan Maerokoco. Selain itu, sarana prasarana yang ada pun mulai rusak, mulai jalan, dan pengelolaan anjungan yang kurang maksimal,” ujar Titah mengisahkan riwayat Maerokoco dulu dan kini.
Upaya perawatan dan renovasi kawasan wisata yang menempati area seluas 23 hektar itu tidaklah mudah. Keterbatasan anggaran menjadi kendala utama, mengingat tidak semua kabupaten/kota memiliki dana APBD untuk mengelola anjungan. Sedangkan dana operasional PRPP sangat terbatas.
“Selama periode tahun 2000 hingga 2014, pengunjung terus merosot. Paling banyak kunjungan setahu hanya 25.000 orang saja. Itu pun kebanyakan dari rombongan sekolah,” katanya.
Ibarat pepatah ‘hidup segan, mati pun enggan’. Begitulah Maerokoco dalam masa keterpurukannya.
Di lain sisi, dengan lokasi yang strategis, Maerokoco sangat memungkinkan untuk berkembang. Namun, berbagai ide kreatif dan inovatif yang kerapkali muncul hanya sebagai angin lalu lantaran dana yang minim.
“Sebelumnya sudah banyak investor yang melirik potensi Maerokoco untuk dikembangkan menjadi wisata yang besar. Tapi kebanyakan mereka mundur teratur setelah karena status tanah PRPP yang masih bermasalah,” tuturnya.
Tak ingin larut dalam keterpurukan, pengelola PRPP berlahan bangkit membangun optimisme baru dalam mengembangkan Maerokoco sebagai destinasi menarik. Berbekal dana operasional yang minim, mulai tahun 2015 pihak pengelola mulai berbenah.
“Pelan-pelan kami mulai perbaiki sarana prasarana. Bahkan, sejak tahun 2008, kami pun sudah mulai menanami mangrove untuk mencegah rob masuk ke kawasan Maerokoco,” jelasnya.
Tak hanya itu, event-event yang bertujuan menyedot pengunjung pun terus digencarkan. Seperti halnya adanya event festival budaya, lomba mancing, hingga event musik M2M (Malam Minggon Maerokoco), yang digelar rutin setiap Sabtu malam.
“Mulai saat itu, generasi muda masa kini mulai mengenal Maerokoco sebagai alternatif untuk nongkrong di Kota Semarang,” ucapnya, bahagia.
Perlahan tapi pasti. Memasuki penghujung tahun 2016, sebuah ide baru dengan memanfaatkan potensi yang ada di Maerokoco muncul. Pengelola memutuskan untuk menjadikan Maerokoco sebagai wisata budaya, sekaligus wisata alam.
“Kami merencanakan untuk merevitalisasi Maerokoco menjadi sesuatu yang baru. Objek wisata budaya, tapi dengan konsep ‘kekinian’ yang digemari masyarakat sekarang,” ujarnya, optimis.
Dengan memanfaatkan gugusan mangrove, pihak pengelola Maerokoco membuat tracking (jalan dari bambu) yang mengeliling miniatur Pulau Karimun Jawa dan Pulau Mandalika. Tracking mangrove yang berada di hamparan danau buatan ‘Laut Jawa’ ini pula yang kini menjadi awal kebangkitan dari Puri Maerokoco.
“Tracking Mangrove ini kami buat di bulan November 2016, dan sebulan kemudian, tepatnya di bulan Desember 2016 sudah bisa dilalui dan menjadi daya tarik wisata baru Maerokoco,” terang Titah.
Era media sosial yang menjadi candu bagi masyarakat saat ini, lanjut Titah, sangat membantu promosi wisata Maerokoco hingga ke berbagai penjuru. Tak butuh waktu lama, keberadaan Tracking Mangrove langsung menjadi favorit, khususnya bagi para muda mudi untuk berlomba-lomba mengunjungi Maerokoco dan mengabadikan moment-moment di berbagai spot yang tersedia.
“Kalau sekarang banyak pengunjung anak muda, paling tidak 60% dari total pengunjung merupakan segmen muda yang senang ber-selfie, dan bisa mengunggah di media sosial,” jelasnya.
Titah mengaku, yang paling menggembirakan saat ini, usaha pengelola Maerokoco dalam mendongkrak tingkat kunjungan wisata tidaklah sia-sia. Saat ini, rata-rata pengunjung Maerokoco bisa mencapai 1.200 orang perhari dari yang sebelumnya rata-rata hanya 300 orang per hari.
“Kalau dilihat dari grafik jumlah pengunjung rata-rata per bulan sejak tahun 2016 hingga kini ada peningkatan 3 kali lipat lebih,” akunya, dengan rona bahagia, sembari menjelaskan, Maerokoco buka setiap hari mulai pukul 07.00 – 19.00 WIB, dengan harga tiket masuk Rp7.000/orang di hari biasa dan Rp8.000/orang saat weekend atau hari libur.(aln)