*Sesuai UU Minerba No 4/2009
SEMARANG- Pemerintah telah berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia, baik investasi asing maupun investasi dalam negeri, tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi. Dalam hal ini termasuk di bidang pertambangan mineral logam.
Anggota Komisi VII DPR RI, Yaqut Chokil Qoumas mengatakan, di bidang pertambangan tersebut, pemerintah tetap berpegangan pada UU Minerba No 4/2009, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai pelengkap semua peraturan pemerintah sebelumnya. Pemerintah pun tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
“Untuk itu, semua pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (pasal 169 dan pasal 170),” katanya.
Menurutnya, dengan fakta belum dilakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba, maka Pemerintah menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yg belum membuat smelter untuk pemurnian agar mengubah perjanjiannya menjadi IUPK. Dengan begitu, mereka akan tetap dalam melakukan ekspor dalam jangka waktu 5 tahun sejak PP 1/2017 diterbitkan, sambil melakukan pembangunan smelter sebagaimana diamanahkan dalam UU Minerba.
“Fakta yang terjadi saat ini adalah PT Amman (Newmont) menyatakan terima kasih atas persetujuan Pemerintah mengubah perjanjian Kontrak Karya menjadi IUPK dan memperoleh rekomendasi ekspor kembali mulai Jumat tgl 17 lalu,” ungkapnya.
Di lain sisi, lanjutnya, PT Freeport Indonesia menolak perubahan dari KK menjadi IUPK dan khabarnya juga menolak rekomendasi ekspor yang diberikan pada pekan lalu.
“Semoga kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI juga tetap melanjutkan usahanya seperti sedia kala, sambil membangun smelter yang akan diperiksa perkembangannya setiap 6 bulan sambil merundingkan persyaratan stabilisasi investasi dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan, termasuk perpajakan yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM saat ini juga,” terangnya.
Dijelaskan, Pemerintah juga memberikan hak yang sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan.
“Kami berharap PTFI tidak alergi dengan adanya persyaratan untuk divestasi 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Indonesia dan juga tercantum dalam PP 1/2017,” jelasnya.
Diakuinya, ada perubahan persyaratan divestasi di KK yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah. Namun, divestasi 51% adalah aspirasi Presiden agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah, sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan lancar dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua juga ikut menikmati sebagai PEMILIK tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Sementara, terkait arbitrase merupakan langkah hukum yang menjadi hak siapapun sesuai perjanjian KK yang ada. Meski Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapapun secara hukum karena dampak psikologis akan kurang baik, namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu mengedepankan pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah.
“Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata,” pungkasnya.(aln)