SEMARANG- Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan tren positif di sepanjang tahun ini. Jika melihat performa IHSG, imbal hasil BEI masih tercatat positif sebesar 11,52%.
Plh. BEI Semarang, Fanny Rifqi El Fuad mengatakan, angka tersebut jauh melampaui imbal hasil bursa efek negara lain, seperti Inggris yang tercatat sebesar 8,80%, Indeks Dow Jones Amerika Serikat sebesar 7,69%, Hongkong sebesar 3,84%, India sebesar 1,37%, Philipina sebesar 0,90%, Singapura sebesar 0,91%, dan Tokyo, Jepang sebesar 3,43%.
“Tingkat imbal hasil IHSG hanya kalah dari Bursa Efek Thailand yang mencatat ‘return’ sebesar 16,12%,” katanya, pada kegiatan workshop wartawan daerah di Semarang.
Untuk diketahui, saat ini IHSG berada di level 5.114. Angka ini meningkat jika dibandingkan di tahun 2015 yang berada di kisaran 4.800.
Fanny menuturkan, yang membuat IHSG mengalami peningkatan adalah performa perusahaan yang ‘listing’ di Bursa Efek Indonesia. Saat ini, tempatnya ada 530 perusahaan yang melantai di BEI.
“Meski demikian, tidak semua perusahaan mengalami kenaikan laba. Pada tahun ini, beberapa perusahaan yang mengalami kenaikan laba kalau dari sektor perbankan ada BRI, BCA, dan Bank Mandiri. Sedangkan kalau dari sektor properti ada PT Alam Sutra,” ujarnya.
Menurutnya, jika dilihat secara sektoral, kenaikan laba yang paling tinggi terjadi di sektor perbankan dengan kenaikan sebesar 94%. Meski demikian, ada sektor yang mengalami penurunan dan berpotensi menghambat pergerakan IHSG ke arah positif, yakni sektor pertambangan.
“Tambang yang paling besar di Indonesia adalah batu bara. Sebagian besar komoditas ini dijual di Tiongkok. Padahal saat ini negara tersebut sedang mengalami keterlambatan ekonomi,” ungkapnya.
Kondisi tersebut memberikan dampak pada menurunnya daya beli mereka untuk membeli produk dari Indonesia salah satunya batu bara.
“Selama Tiongkok belum membeli batu bara ke Indonesia, sampai kapanpun sektor tambang batu bara tidak akan mengalami kenaikan,” jelasnya.
Hal itu pula yang memberikan dampak negatif terhadap nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
“Kenapa rupiah kita belum bisa turun sampai ke level Rp10 ribu lagi karena ekspor kita belum mengalami kenaikan,” pungkasnya.(aln)